Sekolah Jurnalistik & Multimedia diharapkan menjadi sekolah inklusif

Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB), Ditjen Mandikdasmen, Kemendiknas RI, Ekodjatmiko Sukarso mengharapkan agar Sekolah Jurnalistik dan Multimedia (SJM) yang baru diresmikan bisa menjadi sekolah yang bersifat inklusi, yaitu sekolah yang bukan saja menampung anak-anak normal namun juga dapat menampung anak-anak berkebutuhan khusus (ABK).

“Sekolah baru ini juga diharapkan dapat menampung siswa didik dari berbagai tingkatan, mulai dari tingkat SD, SMP, SMA dan seterusnya, untuk mencari bakat-bakat istimewa,” kata Ekodjatmiko pada saat peresmian SJM di Jakarta, Senin (15/2). School of Journalism and Multimedia (SJM) didirikan oleh penggagasnya Rahmat Indra di kawasan Matraman, Jakarta Timur. Konsep lembaga ini merupakan sekolah yang pertama yang menggabungkan multimedia jurnalisme bagi masyarakat umum, anak-anak sekolah (berbakat), anak penyandang ketunaan hingga anak-anak putus sekolah.

Menurut Ekodjatmiko, SJM Jakarta saat ini masih dalam pembinaan Direktorat PSLB, Kemendiknas RI, namun apabila sudah menjalankan fungsi sebagai sekolah inklusi, maka SJM Jakarta akan masuk dalam pembinaan Direktorat Pendidikan Layanan Khusus (PLK) Kemendiknas RI.

Ia menjelaskan, selama 25 tahun berdinas di Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Kemendiknas RI, ia melihat bahwa kalangan wartawan itu pendidikannya sangat beragam, mulai dari sarjana hukum, insinyur pertanian, psikologi, komputer atau bahkan lulusan IPB.

Ekodjatmiko mengatakan, berdasarkan Pasal 12 Undang-undang No.20/2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan di Indonesia harus mengikuti minat, bakat dan kemampuan anak. “Jadi bukan mengikuti minat orangtuanya, gurunya, pejabat atau siapapun, tapi minat dan bakat kemampuan anak-anak,” katanya.

Ia mengatakan, banyak lulusan perguruan tinggi (sarjana) dari berbagai fakultas, begitu lulus ternyata bekerja di bidang tulis menulis atau menjadi wartawan. “Ternyata bakat dan minat mereka diketahui setelah lulus sarjana, karena itu silakan cek, kebanyakan wartawan itu bukan lulusan jurnalistik,” katanya.

Ia menjelaskan, Kemendiknas RI selama ini telah menjalankan berbagai program pendidikan khusus untuk anak-anak suku terasing, terpencil, pulau-pulau terluar, kawasan perbatasan, untuk anak-anak pengungsi, anak jalanan, dan pekerja anak.

“Kemediknas RI telah memiliki sekolah khusus untuk anak-anak di lokalisasi pelacuran ‘Doli’ di Surabaya’, kemudian juga di Subang. Yang paling banyak adalah sekolah untuk para anak jalanan, pekerja anak dan anak-anak yang mendekam di lapas, ada 16 unit sekolah, di antaranya di Lapas Peledang Bogor dan Rutan Pondok Bambu,” katanya.

Pada kesempatan lain, ia menjelaskan bahwa Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB) kemungkinan besar akan mendapat anggaran tambahan melalui APBN Perubahan tahun 2010.

“Ini sangat menggembirakan. Kami tentu berterima kasih kepada Bapak Mendiknas sehingga program pendidikan untuk SLB dan anak-anak berkebutuhan khusus semakin banyak,” katanya.

Menurutnya, dari 10 program prioritas Kemendiknas RI tahun 2010, program prioritas nomor dua adalah Sekolah Luar Biasa dan Pendidikan Layanan Khusus Rumah Singgah untuk anak-anak jalanan.

Dikemukakan, agar pendidikan khusus tersebut bisa melahirkan lulusan yang kualitasnya sama dengan lulusan dari sekolah formal SD, SMP dan SMA/SMK, maka salah satu solusi dan terobosannya adalah dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT).

“Jadi anak-anak cacat kaki misalnya, atau lumpuh, pada usia 12 tahun, mereka nanti bisa atau bahkan ahli di bidang desain grafis lima dimensi. Artinya, anak cacat atau normal, bisa sekolah di sekolah ini, dan ketika lulus memiliki keahlian yang dibutuhkan,” kata Ekodjatmiko.

Menurut dia, apabila benar ini adalah sekolah jurnalistik dan multimedia yang pertama di Indonesia, Direktur PSLB mengajak SJM untuk bersama-sama menyaring dan menyerap bakat dan minat anak-anak sejak dini melalui berbagai melakukan pelatihan yang baik.[\]

Sumber: Kominfo Newsroom (16/02/2010)

Tinggalkan komentar